1. Hadits yang diriwayatkan Al Imam Muslim di dalam “Shahihnya” (203), Abu Daud “As Sunan” (4718), Ibnu Hibban “As Shahih” (578), Al Baihaqi “Sunanul Kubro” (13856), Ahmad “Al Musnad” (7/13861), Abu ‘Awanah “Al Musnad” (289), Abu Ya’la Al Mushili “Al Musnad” (3516), dari Anas bin Malik radhiallahu anhu:
أن رجلا قال: يا رسول الله! أين أبي؟ قال: “في النار” فلما قفي دعاه فقال: “إن أبي وأباك في النار”.
“Bahwasanya seseorang bertanya: “wahai Rasulullah! Dimana ayahku? Beliau menjawab: “di neraka” ketika orang tersebut beranjak pergi, beliau memanggilnya dan berkata: “Sesungguhnya ayahmu dan ayahku di neraka.”
2. Hadits yang diriwayatkan Al Bazzar di dalam “Al Musnad” (2/1089), At Thabarani “Al Mu’jamul Kabir” (1/326), Ibnu Qudamah Al Maqdisi “Al Ahadits Al Mukhtarah” (1005) dari Sa’ad bin Abi Waqqash:
أن أعرابيا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أين أبي قال في النار قال فأين أبوك قال حيث ما مررت بقبر كافر فبشره بالنار
“Bahwasanya Seorang badui mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian bertanya: Wahai Rasulullah! Dimana ayahku? Beliau menjawab: “di neraka”, kemudian dia bertanya lagi: dimana ayahmu? Beliau menjawab: “Setiap kali kamu melewati kuburan orang kafir maka berilah kabar gembira dia dengan neraka.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam “As Sunan” (1/1573) dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma dengan tambahan: “Wahai Rasulullah! Dahulu ayahku penyambung silaturahmi dan dia…dan dia…(kemudian dia menyebutkan beberapa kebaikannnya), dimana dia? (kemudian Rasulullah menjawab dengan jawaban diatas…..)”
Berkata Abu Bakr Al Haitsami di dalam kitabnya “Majmu’ Az Zawa’id” setelah menyebutkan hadits diatas: “para perowinya, perowi Shahih Bukhari.”
3. Hadits yang diriwayatkan Muslim di dalam “Shahihnya” “Kitabul Janaiz bab Isti’dzanun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam rabbahu ‘azza wajalla Fii Ziyaroti Qabri Ummihi” (976), Ibnu Hibban “As Shahih” (3169, Ibnu Majah “As Sunan” (1572) Al Baihaqi “Sunanul Kubro” (6949,6984,13857), Abu Bakr bin Abi Syaibah “Al Mushannaf” (11807) dan Abu Ya’la “Al Musnad” (6193), dari Abu Hurairah radhiallahu anhu:
استأذنت ربي أن أستغفر لأمي فلم يأذن لي واستأذنته أن أزور قبرها فأذن لي
“Aku meminta ijin kepada Rabbku (Allah) untuk memintakan ampunan untuk ibuku, akan tetapi Dia tidak mengijinkanku, dan aku meminta ijin untuk menziarahi kuburnya, maka Dia mengijinkanku.”.
Didalam riwayat lain disebutkan: “Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menziarahi kuburan ibunya kemudian beliau menangis maka menangislah para shahabat seluruhnya, beliau berkata:… (kemudian beliau menyebutkan lafadz diatas) dan melanjutkan: “Hendaklah kalian berziarah kubur, karena ziarah kubur akan mengingatkan kematian.”
Berkata Syamsul Haq Al ‘Adzim Abadi di dalam kitabnya “‘Aunul Ma’bud” (9/Bab Fii Ziyarotil Qubur): “(perkataan nabi) “akan tetapi Dia tidak mengijinkanku” ini disebabkan dia (Aminah) mati dalam keadaan kafir, maka tidak boleh memintakan ampun untuk orang kafir (yang sudah mati).”
pernyataan para ulama’
1. Al Imam Al Baihaqi berkata di dalam kitab beliau “Dalailun Nubuwah” (1/192-193) setelah menyebutkan sejumlah hadits-hadits yang menunjukan bahwa kedua orang tua Nabi di neraka: “Bagaimana keduanya tidak mendapatkan sifat yang demikian di akhirat, sedang mereka menyembah patung-patung sampai mereka mati, dan mereka tidak beragama dengan agamanya Nabi Isa alaihis salam, …………”.
Dan di dalam “As Sunanul Kubro” (7/190) beliau berkata: “Kedua orang tua beliau adalah Musyrik” kemudian beliau menyebutkan dalil-dalilnya.
2. Al Imam Ath Thabari menyebutkan di dalam “Tafsirnya” ketika menjelaskan firman Allah subhanahu wata’ala: {ولا تسأل عن أصحاب الجحيم} “kamu tidak akan ditanya tentang para penghuni jahannam”(Al Baqarah:119). Dan kedua orang tua beliau termasuk diantaranya (Tafsir Ath Thabari 1/516).
3. Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i berkata ketika menjelaskan hadits “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. Hadits ini mengandung faidah bahwa siapa saja yang mati dalam keadaan kafir, maka ia termasuk dari penduduk neraka, tidak akan bermanfaat pembelaan orang yang membela, dan barang siapa yang mati pada masa fathrah (kosongnya masa kenabian) dari para penyembah berhala, maka dia termasuk dari penghuni neraka, ini bukan dikarenakan belum sampai kepada mereka dakwah akan tetapi telah sampai kepada mereka da’wah Ibrahim dan Nabi-Nabi setelahnya shalatullah wa salamullahu alaihim. (Syarhun Nawawi:1/79).
4. Berkata Al ‘Adzim Abadi di dalam “Aunul Ma’bud” ketika menjelaskan hadits”فلم يأذن لي ” “Allah tidak mengijinkanku untuk memintakan ampunan untuk ibuku”: “Karena ibunya adalah kafir, dan memintakan ampunan untuk orang kafir (yang sudah mati) adalah dilarang…dan di dalam hadits ini terdapat faidah bolehnya ziarah kekuburan orang musyrikin dan larangan untuk memintakan ampunan untuk orang kafir (yang sudah mati).”
5. Al Imam Al Qori’ menukilkan Ijma’ para Ulama’ salaf (yang terdahulu dari kalangan shahabat,tabiin dan tabiut tabiin) dan khalaf (setelah shahabat,tabi’in dan tabi’ut tabi’in) bahwa kedua orang tua Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam termasuk dari penghuni neraka, dia berkata: “Telah bersepakat para Ulama’ salaf dan khalaf, imam yang empat (Imam Malik, Ahmad, syafi’I, Abu Hanifah) dan seluruh mujtahidiin bahwa kedua orang tua Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan masuk neraka……..
6. Al Imam Al Baidhawi ketika menafsirkan aya tولا تسأل berkata: “Al Imam Nafi’ dan Ya’qub membacanya dengan huruf ta’ berharokat fathah yang artinya: “Janganlah kamu bertanya tentang penghuni neraka”. Ini adalah larangan terhadap beliau shalallahu ‘alaihi wasallam untuk bertanya tentang keadaan kedua orang tua beliau”. (Tafsir Al Baidhawi 1/185)
Masih banyak lagi hujjah-hujjah yang lainnya yang menunjukkan bahwa kedua orang tua Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mati kafir dan termasuk penghuni neraka kekal di dalamnya. Akan tetapi kita cukupkan sampai disini dulu.
Penutup
Selayaknya kita menelaah lebih dalam informasi-informasi syubhat yang tersebar dengan memperhatikan dalil-dalil yang dibawa, dan penjelasan ulama terhadap informasi (dalil-dalil) yang mereka bawa. Dalam penjelasan diatas, tidak terdapat takwilan-takwilan yang jauh dari maknanya, yang dijelaskan para ulama yang masih pada tempatnya tanpa sedikitpun menggunakan ro'yu dan perasaan. Silahkan juga dicheck, kitab-kitab para ulama yang tertera diatas yang didalamnya terdapat komentar mereka terhadap dalil-dalil diatas.
Dan diantara akhlak seorang mukmin dan mukminah adalah menerima terhadap ketentuan Allah dan rasul-Nya dengan sepenuhnya.
Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
“Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin dan mukminah apabila Allah dan rasul—-Nya telah menetapkan suatu ketetapan untuk memilih yang lain dari urusan mereka. Barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS Al Ahdzab:36)
Dan diantara yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah apa yang telah kami sebutkan di atas berupa hadits-hadits shahih dengan penjelasan para ulama’ bahwa kedua orang tua beliau mati musyrik. Inilah adab seorang mukmin.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam bish shawab
Di nukil dari kitab Adillah Mu’taqad Abi Hanifah Al A’zham fii Abawai Ar Rasul ‘Alaihis Shalatu Wasallam.
http://haulasyiah.wordpress.com/2007/07/12/kedua-orang-tua-nabi-mati-musyrik-menjawab-syubuhat-syiah-2/
________________________________________
"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka." [An-Najm : 23]
Pesan bermakna menyangkut Syubhat:
Imam Ibnul Qayyum:
“Kebanyakan agama-agama manusia hanyalah adat istiadat yang mereka ambil dari bapak-bapak mereka dan nenek moyang mereka, lalu mereka menirunya secara taqlid buta, baik di dalam menetapkan dan menolak, dalam cinta dan benci, dalam loyalitas dan permusuhan “(Ighatsatul Lahafan, juz 2 hal 193)
"Fitnah syubhat ini, nanti ujungnya sampai kepada kekufuran dan kemunafikan, dan ini merupakan fitnahnya orang-orang munafik dan fitnahnya ahli bid'ah menurut tingkatan kebid'ahan mereka masing- masing, semuanya berbuat bid'ah disebabkan syubhat-syubhat yang meracuni mereka sehingga menjadi kabur tidak dapat membedakan mana yang haq dan mana yang batil, mana yang petunjuk dan mana yang sesat." (Mawaridul Amaan, hal. 412)
"Fitnah syubhat ini kadang timbul disebabkan pemahaman yang rusak, atau nukilan yang dusta, atau dari kebenaran yang tegak, tetapi tidak nampak oleh orang tersebut sehingga ia belum mencapainya, dan kadang dari tujuan yang buruk dan mengikuti hawa nafsu maka syubhat tersebut dari kebutaan dalam bashirah dan kerusakan dalam hal keinginan." (Ibid, hal. 413)
"Dan pokok dari segala fitnah hanya terjadi dengan jalan mengutamakan ra'yu (pikiran) atas syariat, dan mengutamakan hawa nafsu dari pada mengikuti akal sehat. Maka yang pertama merupakan pokok fitnah syubhat, dan yang kedua pokok fitnah syahwat." (Ibid, hal. 414)
Syaikhul-Islam Ibnu Taymiyyah:
"Sedangkan ahli bid'ah, mereka itu ahli hawa dan syubhat, mereka mengikuti hawa nafsunya dalam hal yang mereka sukai dan yang mereka benci, mereka memutuskan perkara dengan dzan (persangkaan) dan syubhat-syubhat, maka sesungguhnya mereka itu mengikuti persangkaan dan hawa nafsu, padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka.
Setiap kelompok dari mereka telah membuat fondasi bagi dirinya fondasi diin yang ia buat sendiri, bisa dengan ra'yunya dan qiyas (analogi)-nya yang ia namakan menggunakan akal, atau bisa juga menggunakan perasaannya dan hawa nafsunya yang ia namakan "wangsit" atau dengan cara memalingkan arti dari Al-Qur'an dan merubah kata- kata dari tempat semestinya dalam Al-Qur'an, dan ia berkata: sesungguhnya ia mengikuti Al-Qur'an, seperti kaum Khawarij, atau dengan mengaku menggunakan dalil hadits padahal hadits tersebut dustaatau dhaif sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Syi'ah rafidhah dalam membawakan nash, dan kebanyakan dari orang-orang yang membuat diinnya dengan ra'yunya atau perasaannya berhujjah dengan Al-Qur'an di mana ia mengartikan tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya, ia menggunakan Al-Qur'an sebagai kedok dan kamuflase belaka, sesungguhnya yang dijadikan asas untuk berpijak adalah ra'yunya."
Read More...
0 komentar:
Posting Komentar