. Sahabat Sehati ...

Minggu, 13 Februari 2011

Tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Tafsir Ayat ‘Laa Ikraha Fiddiin’)

Tafsir Ayat ‘Laa Ikraha Fiddiin’

Allah Ta’ala berfirman,

لَا إكْرَاه فِي الدِّين قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ

“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Sebagian orang salah dalam memahami ayat ini sehingga terjebak dalam pemahaman pluralisme agama. Yaitu bahwa semua agama itu benar, dan Islam bukanlah agama yang paling benar. Paham ini juga mengajarkan bahwa Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk memeluk agama apa saja, dan agama apapun dapat mengantarkan pemeluknya kepada Surga Allah Ta’ala. Dengan demikian, menurut para pluralis, dalam Islam tidak ada konsep mu’min dan kafir.

Padahal Islam sama sekali tidak mengajarkan pluralisme agama, bahkan Islam mengajarkan tauhid. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sama sekali tidak ridha terhadap agama selain Islam, serta segala bentuk kemusyrikan. Lalu bagaimana dengan ayat di atas? Mari kita simak pembahasannya.

Penafsiran Ahli Tafsir

Islam mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (QS. An Nahl: 43)

Bahkan, dalam urusan duniawi, harus dikembalikan kepada orang yang ahli dalam urusan tersebut. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أنتم أعلم بأمر دنياكم

“Engkau lebih tahu urusan dunia kalian” (HR Muslim no.2363)

Dan setiap orang berakal tentu akan menerima konsep ‘kembalikanlah setiap urusan kepada ahlinya‘. Kita tentu tidak akan menanyakan obat suatu penyakit kepada ahli matematika, melainkan kepada dokter bukan?

Oleh karena itu marilah kita bersikap bijak untuk mengembalikan urusan penafsiran Al Qur’an kepada ulama ahli tafsir, bukan opini masing-masing atau opini dari orang yang bukan ulama ahli tafsir.

Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan:

“Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam 6 pendapat:

1. Ada yang berpendapat bahwa ayat ini mansukh (dihapus). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memaksa orang arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka. Beliau tidak ridha kepada mereka hingga mereka masuk Islam”. Sulaiman bin Musa berkata, ‘Ayat ini dinasakh (dihapus) oleh ayat’

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِير

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” (QS. At Taubah: 73). Pendapat pertama ini diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud dan dari banyak ahli tafsir.

1. Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus), namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja. Sehingga ahli kitab tidak dipaksa masuk Islam selama mereka membayar jizyah. Yang dipaksa adalah kaum kuffar penyembah berhala. Merekalah yang dimaksud oleh surat At Taubah ayat 73. Inilah pendapat Asy Sya’bi, Qatadah dan Adh Dhahhak.
2. Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, anak tersebut akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata, “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi dan Mujahid.
3. As Sudiy berkata, “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang bernama Abul Hushain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Hushain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Hushain pun datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini”
4. Makna ayat ini: “Orang yang ber-Islam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”
5. 6. Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun muda. Ini pendapat Asyhab.” (Dinukil dari Tafsir Al Qurthubi secara ringkas)

Adanya perbedaan pendapat ini juga dipaparkan oleh Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari, Abu Hatim dalam Tafsir Abi Hatim, Asy Syaukani dalam Fathul Qadhir, dan beberapa ulama ahli tafsir yang lain.

Namun sebagian ulama menafsirkan ayat ini secara mujmal (umum). Sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni. Ash Shabuni menafsirkan ayat ini, “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam karena telah jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan dan hidayah telah terbedakan dari kesesatan” (Shafwatut Tafasir)

Pendapat yang lebih kuat, wallahu’alam, sebagaimana yang dikuatkan oleh imam ahli tafsir yang lain, Ibnu Jarir Ath Thabari, setelah memberikan sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh (dihapus), beliau menyimpulkan makna ayat, “Sehingga jelas bahwa makna ayat ini adalah: Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam bagi orang kafir yang dikenai jizyah dan telah membayarnya dan mereka ridha terhadap hukum Islam.” (Tafsir Ath Thabari)

Telah Jelas Kebenaran dan Kebatilan

Perbedaan di antara ahli tafsir tersebut masing-masing didasari oleh riwayat-riwayat dari para sahabat, atau dari para ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga setiap pendapat dapat diterima dan dapat ditoleransi. Jika demikian, andaikan seseorang mengambil pendapat ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus) dan menafsirkan ayat ini secara umum, yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk Islam bagi siapa pun, sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni, pendapat ini tetap tidak sejalan dengan konsep pluralisme agama. Sama sekali tidak! Karena Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ

“Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Jelas bahwa pendapat ini menetapkan bahwa telah jelaskan kebenaran Islam dan telah jelaslah kebatilan agama selain Islam. Sehingga orang yang berhati bersih dan memandang dengan jernih tentu akan melihat kebenaran itu dan dengan sendirinya masuk Islam tanpa perlu dipaksa. Sedangkan orang yang enggan masuk Islam seolah-olah ia buta dan tertutup hatinya sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang begitu jelas ini.

Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam” (Tafsir Ibnu Katsir)

Senada dengan beliau, Ibnu Jarir Ath Thabari juga berkata: “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kebatilan. Dan telah jelas sudah sisi kebenaran bagi para pencari kebenaran. Dan kebenaran ini telah terbedakan dari kesesatan. Sehingga tidak perlu lagi memaksa para ahli kitab dan orang-orang kafir yang dikenai jizyah untuk memeluk agama Islam, agama yang benar. Dan orang-orang yang berpaling dari kebenaran ini setelah jelas baginya, biarlah Allah yang mengurusnya. Sungguh Allahlah yang akan mempersiapkan hukuman bagi mereka di akhirat kelak” (Tafsir Ath Thabari)

Maka jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka sebagaimana diklaim oleh para pluralis.

Agama yang Benar Hanya Islam

Satu hal yang wajib dijadikan pegangan setiap muslim, yaitu bahwa ayat-ayat Al Qur’an tidak ada yang saling bertentangan. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Apakah kalian tidak mentadabburi Al Qur’an? Andaikan Al Qu’an bukan diturunkan dari sisi Allah, tentu akan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An Nisa: 82)

Dan di dalam ayat lain, pemahaman bahwa semua agama sama dan semua agama itu benar telah dibantah oleh Allah Ta’ala sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ

“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al Imran: 85)

Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Menurut mereka, semua agama itu benar asalkan berserah diri kepada Tuhan. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا

”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)

Sehingga ber-Islam bukanlah hanya sekedar berserah diri kepada Tuhan, siapapun Tuhan-nya. Namun Islam yang diinginkan oleh Allah Ta’ala adalah berserah diri kepada Allah Ta’ala saja dengan menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada yang lain. Inilah inti ajaran Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallah” (HR. Bukhari no. 1399, Muslim no. 124)

Oleh karena itu jelaslah, bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak mengakui bahwa Islam itu agamanya yang paling benar dan agama yang hanya diridhai oleh Allah Ta’ala.

Dari sini kita pun melihat keanehan dan kelemahan argumen para pluralis, mereka mencomot sebuah dalil namun di sisi lain menginjak-injak dalil yang lain.

Tidak Memaksa Bukan Tidak Membenci

Inti ajaran Islam adalah mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Karena hanya Allah Ta’ala-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah. Allah Ta’ala-lah Dzat yang paling berhak mendapat kecintaan dan ketundukan terbesar dari setiap manusia. Konsekuensinya, seorang mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dan kecintaan terhadap sesembahan selain Allah, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)

Sebagai bentuk kebencian itu, Allah Ta’ala juga melarang kaum mu’minin menjadi teman akrab, merendahkan diri, serta tunduk kepada orang kafir,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, sebagai wali. (Yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

Wali secara bahasa artinya orang yang dicintai, teman akrab, atau penolong (Lihat Qamush Al Muhith). Selain itu, rasa benci terhadap kekufuran ini adalah tuntutan iman dan syarat sempurnanya iman. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda,

من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان

“Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak membenci mereka. Kita tidak memaksa mereka, namun tetap menyimpan rasa benci kepada mereka selama mereka belum mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan memeluk Islam.

Namun perlu digaris bawahi, rasa benci terhadap kekufuran dan orang kafir wajib ada di hati setiap muslim. Akan tetapi kebencian ini bukan berarti harus menyakiti, menzhalimi atau bahkan membunuh setiap orang kafir yang kita jumpai. Karena dalam aturan Islam, orang kafir dibagi menjadi beberapa jenis, ada yang boleh disakiti dan diperangi, ada pula orang kafir yang haram untuk disakiti dan diperangi. Hal ini telah kami singgung dalam artikel “Salah Kaprah Memahami Islam Sebagai Rahmatan Lil Alamin”. Walau demikian tetap tidak boleh memberikan kasih sayang dan loyalitas kepada mereka.

Demikian penjelasan singkat mengenai tafsir ayat ini. Mudah-mudahan Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita keteguhan hati untuk terus meniti di atas jalan-Nya yang lurus.

Wabillahi At Taufiq.

Penulis: Yulian Purnama
Read More...

Ayat-Ayat Tentang Tafsiran Kalimat “Laa Ilaha Illallah”

Sekilas Tentang Makna Laa ilaaha ilallah

Makna Laa ilaaha ilallah [ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ] yang benar adalah tidak ada sesembahan yang benar dan berhak disembah kecuali Allah semata. Pada kalimat Laa ilaaha ilallah terdapat empat kata yaitu:

1. Kata Laa ( لآُ ) berarti menafikan, yakni meniadakan semua jenis sesembahan yang benar kecuali Allah.
2. Kata ilah ( إِلَهَ ) berarti sesuatu yang disembah
3. Kata illa ( َ إِلاَّ ) berarti pengecualian
4. Kata Allah (الله ) berarti ilah/sesembahan yang benar.

Dengan demikian makna [ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ] adalah menafikan segala sesembahan selain Allah dan hanya menetapkan Allah saja sebagai sesembahan yang benar .[1]

Dalil tentang masalah ini adalah firman Allah Ta’ala :

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ {62}

“Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj:62)

Demikianlah makna Laa ilaaha ilallah yang benar. Pada bahasan selanjutnya akan kami nukilkan sebagian ayat-ayat yang menjelaskan tentang tafsiran makna Laa ilaaha ilallah beserta penjelasan para ulama.

Ayat Pertama

Firman Allah Ta’ala,

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا {57}

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al Israa’:57)

Dalam ayat di atas, Allah mengkhabarkan bahwa sesembahan selain Allah yang diseru oleh kaum musyrikin baik berupa para malaikat, nabi, dan orang-orang sholih, mereka sendiri bersegera mencari kedekatan kepada Allah dan mengharap rahmat Allah serta takut terhadap adzab-Nya. Jika demikian kondisi sesembahan mereka yang juga merupakan makhluk, maka bagaimana bisa mereka dijadikan sesembahan selain Allah? Bahkan mereka juga mengkhawatirkan diri mereka sendiri dengan menyembah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan beribadah. Hal ini menunjukkan bahwa makna tauhid syahadat Laa ilaaha ilallah yaitu dengan meninggalkan perbuatan kaum musyrikin berupa menyembah orang-orang sholih dan meminta syafaat kepada mereka untuk menghilangkan kemudharatan karena hal itu termasuk syirik akbar. [2]

Ringkasnya, di antara makna Laa ilaaha ilallah adalah dengan meninggalkan perbuatan menyembah orang-orang shalih seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin.

Ayat Kedua

Firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّأ تَعْبُدُونَ {26} إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهدِينِ {27}

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab (berlepas diri) terhadap apa yang kamu sembah (26). tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku“.”(QS. Az Zukhruf:26-27)

Dalam ayat di atas terdapat perpaduan antara penafian dan penetapan. Penafiannya adalah firman Allah [ بَرَآءٌ مِّمَّأ تَعْبُدُونَ ] (berlepas diri dari yang kalian sembah), sedangkan penetapannya adalah [ إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي ] (tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menciptakanku). Hal ini menunjukkan bahwa tauhid tidak akan sempurna kecuali dengan mengingkari sesembahan selain Allah dan beriman kepada Allah semata. Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

ِ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ {256}

“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah:256)

Ibrahim ‘alaihis sallam mengatakan [ إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي ] dan tidak mengatakan[ إِلاَّ اللهُ ]. Ada dua faedah dalam perkataan ini :

1. Menunjukkan tentang alasan pengesaan Allah dalam ibadah. Sebagaimanan Allah diesakan dalam penciptaan, maka Dia juga harus diesakan dalam ibadah.
2. Menunjukkan tentang kebatilan penyembahan terhadap para berhala. Berhala-berhala tersebut tidak dapat menciptakan kalian, mengapa kalian masih menyembahnya? Di sini juga terkandung alasan tentang tauhid yang memadukan antara penafian dan penetapan.

Kesimpulan dari ayat di atas bahwa tauhid tidak akan terwujud jika ada penyembahan kepada Allah yang disertai penyembahan kepada selain-Nya. Perwujudan tauhid hanya dengan pemurnian ibadah bagi Allah semata. Manusia dalam hal ini dapat dibagi menjadi tiga golongan :

1. Golongan yang menyembah Allah semata.
2. Golongan yang menyembah selain Allah semata.
3. Golongan yang menyembah Allah serta menyembah selain-Nya

Hanya golongan pertamalah yang disebut muwahhid (orang yang bertauhid).[3]

Ayat Ketiga

Firman Allah Ta’ala,

اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ {31}

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah:31)

Allah Ta’ala menceritakan tentang kaum Yahudi dan Nasrani bahwasanya mereka meminta nasehat kepada ulama dan rahib mereka dan mereka mentaatainya dalam penghalalan sesuatu yang Allah haramkan dan pengharaman sesuatu yang Allah halalkan. Mereka mendudukkan ulama mereka sebagai Rabb yang memiliki kekhususan untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Hal ini sebagaimana dilaukan kaum Nasrani yang menyembah Isa dan menganggapnya sebagai anak Allah. Mereka mencampakkan kitabullah yang memerintahkan mereka untuk mentaati dan mengibadahi Allah semata. Kesimpulan dari ayat ini menunjukkan bahwa makna tauhid dan syahadat Laa ilaaha ilallah yakni dengan mengesakan Allah dalam mentaati apa yang Allah haramkan dan apa yang Allah halalkan. Barangsiapa yang menjadikan seseorang selain Allah dalam mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya maka dia termasuk orang musyrik.[4]

Ayat Keempat

Firman Allah Ta’ala,

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ للهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ {165}

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”(QS. Al Baqarah:165)

Dalam ayat yang mulia ini Allah menceritakan kepada kita tentang sebgain manusia yang menyembah berhala. Mereka mencintai berhala itu sebagiamana mereka mencintai Allah. Kemudian Allah menerangkan bahwa kaum mukminin lebih mencintai Allah daripada kaum musyrikin. Hal ini karena kaum mukminin mencintai Allah secara murni, sementara kaum musyrikin cinta mereka terbagi kepada Allah dan kepada berhala. Barangsiapa yang mencintai Allah secara murni, tentu saja cintanya kepada Allah lebih kuat daripada orang-orang yang menyekutukan cintanya kepada Allah.

Lalu Allah mengancam kaum musyrikin dan menjelaskan kepada mereka bahwa pada hari kiamat nanti tatkala mereka melihat azab Allah siap menerkam, mereka akan berangan-angan sekiranya dahulu mereka tidak menyekutukan cinta dan ibadah mereka kepada Allah. Mereka kelak di akhirat akan mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa kekuatan itu hanyalah milik Allah semata. Dan Allah Maha Keras siksanya.

Ayat di atas menjelaskan bahwa makna tauhid dan syahadat Laa ilaaha ilallah adalah mengesakan Allah dalam kecintaan yang mengharuskan seseorang mengikhlaskan seluruh ibadahnya kepada Allah semata. [6].

Demikianlah di antara ayat-ayat tentang tafsir Laa ilaaha ilallah beserta penejelasan para ulama. Semoga semakin memperkokoh pondasi tauhid kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Wallahul musta’an.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Read More...

Letak Kebahagiaan Bukan Pada Kemewahan Dunia

Setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia. Namun banyak orang yang menempuh jalan yang salah dan keliru. Sebagian menyangka bahwa kebahagiaan adalah dengan memiliki mobil mewah, Handphone sekelas Blackberry, memiliki rumah real estate, dapat melakukan tur wisata ke luar negeri, dan lain sebagainya. Mereka menyangka bahwa inilah yang dinamakan hidup bahagia. Namun apakah betul seperti itu? Simak tulisan berikut ini.

Kebahagiaan untuk Orang yang Beriman dan Beramal Sholeh

Saudaraku … Orang yang beriman dan beramal sholeh, merekalah yang sebenarnya merasakan manisnya kehidupan dan kebahagiaan karena hatinya yang selalu tenang, berbeda dengan orang-orang yang lalai dari Allah yang selalu merasa gelisah. Walaupun mungkin engkau melihat kehidupan mereka begitu sederhana, bahkan sangat kekurangan harta. Namun jika engkau melihat jauh, engkau akan mengetahui bahwa merekalah orang-orang yang paling berbahagia. Perhatikan seksama firman-firman Allah Ta’ala berikut.

Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97). Ini adalah balasan bagi orang mukmin di dunia, yaitu akan mendapatkan kehidupan yang baik.
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97). Sedangkan dalam ayat ini adalah balasan di akhirat, yakni alam barzakh.

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS. An Nahl: 41)
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3). Kedua ayat ini menjelaskan balasan di akhirat bagi orang yang beriman dan beramal sholeh.

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)

Inilah empat tempat dalam Al Qur’an yang menjelaskan balasan bagi orang yang beriman dan beramal sholeh. Ada dua balasan yang mereka peroleh yaitu balasan di dunia dan balasan di akhirat. Itulah dua kebahagiaan yang nantinya mereka peroleh. Ini menunjukkan bahwa mereka lah orang yang akan berbahagia di dunia dan akhirat.

Salah Satu Bukti

Seringkali kita mendengar nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Namanya begitu harum di tengah-tengah kaum muslimin karena pengaruh beliau dan karyanya begitu banyak di tengah-tengah umat ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, nama aslinya adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah beliau adalah Abul ‘Abbas.

Berikut adalah cerita dari murid beliau Ibnul Qayyim mengenai keadaannya yang penuh kesusahan, begitu juga keadaan yang penuh kesengsaraan di dalam penjara. Namun di balik itu, beliau termasuk orang yang paling berbahagia.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Allah Ta’ala pasti tahu bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala, yaitu berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuh beliau. Namun bersamaan dengan itu semua, aku dapati bahwa beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun sering mengatakan berulang kali pada Ibnul Qoyyim, “Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya ada di hatiku.”

Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan tatkala beliau berada di dalam penjara, padahal di dalamnya penuh dengan kesulitan, namun beliau masih mengatakan, “Seandainya benteng ini dipenuhi dengan emas, tidak ada yang bisa menandingi kenikmatanku berada di sini.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah mengatakan, “Sebenarnya orang yang dikatakan dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari mengenal Allah ‘azza wa jalla. Sedangkan orang yang ditawan adalah orang yang masih terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada kesesatan). ”

Bahkan dalam penjara pun, Syaikhul Islam masih sering memperbanyak do’a agar dapat banyak bersyukur pada Allah, yaitu do’a: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, aku meminta pertolongan agar dapat berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik pada-Mu). Masih sempat di saat sujud, beliau mengucapkan do’a ini. Padahal beliau sedang dalam belenggu, namun itulah kebahagiaan yang beliau rasakan.

Tatkala beliau masuk dalam sel penjara, hingga berada di balik dinding, beliau mengatakan,
فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ

“Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS. Al Hadid: 13)

Itulah kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan yang kokoh. Kenikmatan seperti ini tidaklah pernah dirasakan oleh para raja dan juga pangeran.

Para salaf mengatakan,
لَوْ يَعْلَمُ المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ المُلُوْكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لَجَلِدُوْنَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوْفِ

“Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang.”

Mendapatkan Surga Dunia

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Di dunia itu terdapat surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan memperoleh surga akhirat.”

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa surga dunia adalah mencintai Allah, mengenal Allah, senantiasa mengingat-Nya, merasa tenang dan thuma’ninah ketika bermunajat pada-Nya, menjadikan kecintaan hakiki hanya untuk-Nya, memiliki rasa takut dan dibarengi rasa harap kepada-Nya, senantiasa bertawakkal pada-Nya dan menyerahkan segala urusan hanya pada-Nya.

Inilah surga dunia yang dirindukan oleh para pecinta surga akhirat.

Itulah saudaraku surga yang seharusnya engkau raih, dengan meraih kecintaan Allah, senantiasa berharap pada-Nya, serta dibarengi dengan rasa takut, juga selalu menyandarkan segala urusan hanya kepada-Nya.

Penutup

Inti dari ini semua adalah letak kebahagiaan bukanlah dengan memiliki istana yang megah, mobil yang mewah, harta yang melimpah. Namun letak kebahagiaan adalah di dalam hati, yaitu hati yang memiliki keimanan, yang selalu merasa cukup dan selalu bersandar pada Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kita surga dunia yaitu dengan memiliki hati yang selalu bersandar pada-Nya.

Hati yang selalu merasa cukup itulah yang lebih utama dari harta yang begitu melimpah.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sumber rujukan: Shahih Al Wabilush Shoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hl. 91-96, Dar Ibnul Jauzi

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Read More...

Keutamaan Menyebarkan Ilmu Agama

Dari Abu Umamah al-Baahili radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، حَتَّى النَّمْلَةَ فِى جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ، لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ »

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan (di lautan), benar-benar bershalawat/mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada manusia”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang yang mempelajari ilmu agama[2] yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menyebarkannya kepada umat manusia[3]. Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui setelah (tingkatan) kenabian, kedudukan yang lebih utama dari menyebarkan ilmu (agama)”[4].

Dalam hadist lain yang semakna dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang memahami ilmu (agama dan mengajarkannya kepada manusia) akan selalu dimohonkan (kepada Allah Ta’ala) pengampunan (dosa-dosanya) oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di lautan”[5].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

- Makna shalawat dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah limpahan rahmat, pengampunan, pujian, kemuliaan dan keberkahan dari-Nya[6]. Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari Allah Ta’ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), sebagaimana dalam firman-Nya:

{هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا}

“Dialah yang bershalawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya (dengan memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS al-Ahzaab:43)[7].

- Orang yang mengajarkan ilmu agama kepada manusia berarti telah menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala yang merupakan sebab utama terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan alam semesta beserta semua isinya, oleh karena itu semua makhluk di alam semesta berterima kasih kepadanya dan mendoakan kebaikan baginya, sebagai balasan kebaikan yang sesuai dengan perbuatannya[8].

- Sebagian dari para ulama ada yang menjelaskan makna hadits ini bahwa Allah Ta’ala akan menetapkan bagi orang yang mengajarkan ilmu agama pengabulan bagi semua permohonan ampun yang disampaikan oleh seluruh makhluk untuknya[9].

- Tentu saja yang keutamaan dalam hadits ini khusus bagi orang yang mengajarkan ilmu agama dengan niat ikhlas mengharapkan wajah Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan mencari popularitas atau imbalan duniawi[10].

- Para ulama yang menyebarkan ilmu agama adalah pewaris para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[11], karena merekalah yang menggantikan tugas para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam, yaitu menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala dan menyeru manusia ke jalan yang diridhai-Nya, serta bersabar dalam menjalankan semua itu, maka merekalah orang-orang yang paling mulia kedudukannya di sisi Allah Ta’ala setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam[12].

- Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menyampaikan/menyebarkan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia lebih utama daripada menyampaikan (melemparkan) panah ke leher musuh (berperang melawan orang kafir di medan jihad), karena menyampaikan panah ke leher musuh banyak orang yang (mampu) melakukannya, sedangkan menyampaikan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia hanya (mampu) dilakukan oleh (para ulama) pewaris para Nabi ‘alaihis salam dan pengemban tugas mereka di umat mereka, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan mereka dengan karunia dan kemurahan-Nya”[13].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 13 Ramadhan 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Read More...

8 Kemungkaran di Hari Raya

Hari raya ‘Idul Fithri adalah hari yang selalu dinanti-nanti kaum muslimin. Tak ada satu pun di antara kaum muslimin yang ingin kehilangan moment berharga tersebut. Apalagi di negeri kita, selain memeriahkan Idul Fithri atau lebaran, tidak sedikit pula yang berangkat mudik ke kampung halaman. Di antara alasan mudik adalah untuk mengunjungi kerabat dan saling bersilaturahmi. Namun ada beberapa hal yang perlu dikritisi saat itu, yaitu beberapa amalan yang keliru dan mungkar. Satu sisi, amalan tersebut hanyalah tradisi yang memang tidak pernah ada dalil pendukung dalam Islam dan ada pula yang termasuk maksiat.

Pertama: Tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir dalam berpakaian. Terutama kita lihat bagaimana model pakaian muda-mudi saat ini ketika hari raya, tidak mencerminkan bahwa mereka muslim ataukah bukan. Sulit membedakan ketika melihat pakaian yang mereka kenakan. Sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[1] Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[2]

Kedua: Mendengarkan dan memainkan musik/nyanyian/nasyid di hari raya. Imam Al Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu beliau menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[3] Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.[4]

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.” Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”[5]

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[6] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”[7]

Ketiga: Wanita berhias diri ketika keluar rumah. Padahal seperti ini diharamkan di dalam agama ini berdasarkan firman Allah,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab: 33). Abu ‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.” Az Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.”[8] Seharusnya berhias diri menjadi penampilan istimewa si istri di hadapan suami dan ketika di rumah saja, dan bukan di hadapan khalayak ramai.

Keempat: Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah di tengah kaum muslimin apalagi di hari raya. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirahmati oleh Allah. Perbuatan ini terlarang berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[9] Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau bukan mahrom- diistilahkan dengan zina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul ‘apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut juga haram’.”[10]

Lihat pula bagaimana contoh dari suri tauladan kita sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلِ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ

“Sesungguhnya aku tidak akan bersalaman dengan wanita. Perkataanku terhadap seratus wanita adalah seperti perkataanku terhadap seorang wanita, atau seperti perkataanku untuk satu wanita.“[11]

Kelima: Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘ied. Kita memang diperintahkan untuk ziarah kubur sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

“Sekarang ziarah kuburlah karena itu akan lebih mengingatkan kematian.”[12] Namun tidaklah tepat diyakini bahwa setelah Ramadhan adalah waktu terbaik untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Masalahnya, jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa setelah Ramadhan (saat Idul Fithri) adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

Keenam: Tidak sedikit dari yang memeriahkan Idul Fithri meninggalkan shalat lima waktu karena sibuk bersilaturahmi. Kaum pria pun tidak memperhatikan shalat berjama’ah di masjid. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13]

‘Umar bin Khottob rahimahullah pernah mengatakan di akhir-akhir hidupnya,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidaklah disebut muslim orang yang meninggalkan shalat.”[14]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[15]

Adapun mengenai hukum shalat jama’ah, menurut pendapat yang kuat adalah wajib bagi kaum pria. Di antara yang menunjukkan bahwa shalat jama’ah itu wajib adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.[16]

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,

وَأَمَّا الجَمَاعَةُ فَلاَ اُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ

“Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[17]

Ketujuh: Begadang saat malam ‘Idul Fitri untuk takbiran hingga pagi sehingga kadang tidak mengerjakan shalat shubuh dan shalat ‘ied di pagi harinya. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[18]

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[19]

Takbiran yang dilakukan juga sering mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat padahal hukum mengganggu sesama muslim adalah terlarang. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.”[20] Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[21] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

Kedelapan: Memeriahkan ‘Idul Fithri dengan petasan. Selain mengganggu kaum muslimin lain sebagaimana dijelaskan di atas, petasan juga adalah suatu bentuk pemborosan. Karena pemborosan kata Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar. Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[22] Allah Ta’ala berfirman,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27). Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauhi sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”. Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.[23]

Akhir kata: “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Direvisi ulang di pagi penuh barokah, di Panggang-Gunung Kidul, 15 Ramadhan 1431 H (25/8/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.

[2] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H, 1/363.

[3] Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.

[4] Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.

[5] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, 1405 H, hal. 289.

[6] Lihat Talbis Iblis, 283.

[7] Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.

[8] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 6/379-380.

[9] HR. Muslim no. 6925

[10] Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Judai, Muassasah Ar Royan, cetakan ketiga, 1425 H, hal. 41.

[11] HR. Malik 2/982. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[12] HR. Muslim no. 976.

[13] HR. An Nasa’i no. 463, Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan Ahmad 5/346. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[14] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1426 H, hal. 41.

[15] Ash Sholah, hal. 7.

[16] HR. Bukhari no. 644 dan Muslim no. 651, dari Abu Hurairah.

[17] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107

[18] HR. Bukhari no. 568

[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 3/278.

[20] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40

[21] Syarh Al Bukhari, 1/38.

[22] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/474-475.

[23] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/474.
Read More...

Jangan Mudah Percaya Dengan Orang Kafir (Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 118)

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran[3]: 118)

Tentang sebab turunnya ayat di atas, Ibnu Abbas menjelaskan, “Ada beberapa orang kaum muslimin yang menjalin hubungan dekat dengan beberapa orang Yahudi mengingat mereka adalah tetangga dan orang-orang yang pernah saling bersumpah untuk saling mewarisi di masa jahiliyyah lalu Allah menurunkan ayat yang berisi larangan menjadikan orang-orang Yahudi sebagai teman dekat karena dikhawatirkan menjadi sebab munculnya godaan iman. Ayat yang dimaksudkan adalah ayat di atas.” (Riwayat Ibnu Abi hatim dengan sanad yang hasan).

Dalam ayat ini terkandung larangan keras untuk simpati dan memihak kepada orang-orang kafir, karena yang dimaksud bithonah dalam ayat tersebut adalah orang-orang dekat yang mengetahui berbagai hal yang bersifat rahasia. Bithonah diambil dari kata-kata bathnun yang merupakan kebalikan dari zhahir yang berarti yang nampak. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bithonah adalah orang-orang yang sering menemui karena sudah akrab. Kata Ibnu Hajar, penjelasan tersebut merupakan pendapat Abu ‘Ubaidah (Fathul Bari, 13/202, lihat Jami’ Tafsir min Kutub al Ahadits, 1/396)

Tentang makna bithonah, Zamakhsyari mengatakan bahwa bithonah adalah orang kepercayaan dan orang pilihan, tempat untuk menceritakan hal-hal yang pribadi karena merasa percaya dengan orang tersebut (Tafsir al Kasysyaf, 1/406, lihat Tafsir al Qasimi, 2/441 cetakan Darul Hadits Kairo)

Dengan ayat ini, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menjadikan orang-orang kafir baik Yahudi ataupun ahlu ahwa’ (pengekor hawa nafsu, ahli bid’ah) sebagai orang-orang dekat yang menjadi tempat bermusyawarah dan mengadukan permasalahan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ «الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ»

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Seseorang itu mengikuti agama teman dekatnya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Hakim dan dinilai shahih oleh Hakim serta disetujui oleh adz Dzahabi. Demikian juga dinilai shahih oleh an Nawawi, dll)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan, “Nilailah seseorang dengan teman dekatnya.”

Setelah itu Allah menjelaskan sebab dilarangnya menjalin kedekatan dengan mereka. Mereka selalu mencurahkan segala daya upaya untuk menyengsarakan kalian. Dengan kata lain, jika mereka tidak memerangi kalian secara terang-terangan maka mereka tidak pernah kenal lelah membuat tipu daya untuk kalian.

Ketika menjelaskan potongan ayat ini, Muqatil bin Hayyan mengatakan, “Mereka hendak menyesatkan kalian sebagaimana mereka telah sesat. Maka Allah melarang orang-orang beriman untuk memasukkan orang-orang munafik dengan meninggalkan orang-orang yang beriman ke dalam rumah atau menjadikan mereka sebagai orang dekat.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang hasan).

Terkait ayat ini, Abu Umamah mengatakan, “Yang Allah maksudkan adalah orang-orang khawarij (orang yang memiliki pemahaman mudah mengafirkan orang lain tanpa alasan yang jelas)”

Diriwayatkan bahwa Abu Musa al ‘Asy’ari mengangkat orang Nasrani sebagai sekretaris beliau maka Khalifah Umar mengirim surat dengan nada kasar lalu mengutip ayat di atas sebagai teguran bagi Abu Musa.

Abu Musa pernah menghadap Khalifah Umar dengan membawa laporan secara tertulis. Setelah disampaikan kepada Khalifah Umar beliau merasa kagum dengan lembaran-lembaran laporan tersebut. Setelah laporan tersebut sampai ke tangan Khalifah Umar, beliau bertanya kepada Abu Musa, “Di manakah juru tulismu? Minta dia supaya membacakannya di hadapan banyak orang.” “Dia tidak masuk ke dalam masjid”, jawab Abu Musa. Khalifah bertanya, “Mengapa? Apakah dia dalam kondisi junub?” Abu Musa berkata, “Bukan, namun karena dia seorang Nasrani.” Mendengar hal tersebut, Khalifah Umar lantas menghardik beliau seraya berkata, “Jangan dekatkan mereka kepada kalian padahal Allah telah menjauhkan mereka. Jangan muliakan mereka padahal Allah telah menghinakan mereka. Jangan percaya kepada mereka padahal Allah sudah menegaskan bahwa mereka suka khianat terhadap amanah.”

Khalifah Umar juga pernah mengatakan, “Janganlah kalian mempekerjakan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) karena mereka menghalalkan suap. Untuk menyelesaikan urusan kalian dan urusan rakyat kalian manfaatkanlah orang-orang yang merasa takut kepada Allah.”

Dari Abu Dahqonah, ada yang berkata kepada Khalifah Umar, “Ada seorang budak laki-laki Nasrani dari daerah Hirah yang paling jago dalam tulis menulis dan terkenal sebagi seorang yang amanah. Berkenankah anda seandainya dia menjadi sekretaris anda?” Dengan tegas, Khalifah Umar menyatakan, “Jika demikian berarti aku telah menjadikan non muslim sebagai orang kepercayaanku.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang shahih)

Ar Razi berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa Umar menjadikan ayat ini sebagi dalil bahwa menjadikan orang Nasrani sebagi teman dekat adalah suatu yang terlarang.” (Tafsir ar Razi, 8/216)

Ibnu Katsir mengatakan, “Riwayat dari Khalifah Umar ditambah ayat di atas adalah dalil bahwa orang kafir dzimmi tidak boleh dipekerjakan sebagai juru tulis sehingga merasa lebih tinggi dari kaum muslimin dan mengetahui rahasia-rahasia umat sehingga dikhawatirkan akan disampaikan kepada musuh, orang kafir harbi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/398)

Dalam al Iklil, Imam Suyuthi mengutip perkataan al Kaya Harasi, “Dalam ayat tersebut terdapat dalil bahwa meminta tolong dengan kafir dzimmi jika terkait dengan urusan kaum muslimin adalah suatu hal yang terlarang.” (Al Iklil hal. 72)

Penjelasannya sebagaimana yang dikatakan oleh al Qasyani, “Sesungguhnya bithonah seseorang adalah kekasih dan orang pilihannya yang mengetahui berbagai hal rahasia yang dia miliki. Sahabat semisal ini tidak mungkin kecuali setelah adanya kesamaan tujuan hidup, agama dan karakter dan bersahabat karena Allah bukan karena tendensi tertentu karena sahabat adalah satu jiwa dalam raga yang berbeda. Jika dua orang tersebut tidak seiman maka persahabatannya tentu akan segera berantakan.” (Tafsir Al Qasimi, 2/442)

Imam Qurthubi mengatakan, “Keadaan telah berubah total di masa kini. Yahudi dan Nasrani diangkat sebagai para juru tulis dan orang-orang kepercayaan. Hal tersebut bahkan menjadi kebanggaan bagi para penguasa yang kurang paham dengan agama.” Jika demikian keadaan di masa Imam Qurthubi lalu apa yang bisa katakan untuk masa kita saat ini.

عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى الله عليه و سلم قال «ما بعث الله من نبي ولا استخلف من خليفة إلا كانت له بطانتان بطانة تأمره بالمعروف وتحضه عليه وبطانة تأمره بالشر وتحضه عليه فالمعصوم من عصم الله تعالى»

Dari Abu Said al Khudri, Nabi bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi atau mengangkat seorang khalifah melainkan pasti memiliki dua jenis orang dekat. Ada yang mengajak dan memotivasi untuk berbuat kebaikan. Sebaliknya yang kedua malah mengajak dan memotivasi untuk mengerjakan keburukan. Orang yang terjaga adalah orang yang benar-benar Allah jaga.” (HR. Bukhari dan Nasai)

Sungguh permusuhan dan sikap mendustakan telah benar-benar nampak pada mulut-mulut mereka. Dalam hal ini, Allah menyebutkan mulut untuk mengisyaratkan bahwa mereka pongah dalam kata-kata yang mereka lontarkan. Artinya mereka itu melebihi orang-orang yang menyembunyikan permusuhan sehingga permusuhan hanya nampak dalam sorot pandangan mata.

Tentang ayat ini, Qotadah mengatakan, “Ungkapan permusuhan telah nampak jelas melalui mulut orang-orang munafik ketika berada di hadapan orang-orang kafir yang sejalan dengan mereka. Mereka katakan bahwa mereka berhasil menipu Islam dan umat Islam serta menyampaikan ungkapan rasa benci terhadap orang-orang yang beriman.” Beliau juga mengatakan, “Yang mereka sembunyikan dalam dada-dada mereka itu lebih besar dibandingkan yang mereka nampakkan dengan lisan mereka.” (Riwayat Thabari dengan sanad yang hasan)

Ayat di atas juga menjadi dalil seorang musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkan kepada orang yang menjadi musuhnya. Inilah pendapat para ulama’ terdahulu yang berdomisili di Madinah dan Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya) pada umumnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan hal tersebut sebagaimana dalam salah satu riwayat. Ibnu Bathal mengutip penyataan Ibnu Sya’ban, “Para ulama bersepakat bahwa musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkannya kepada yang menjadi musuhnya dalam kasus apapun meski dia adalah seorang yang baik agamanya. Jadi permusuhan itu menghilangkan nilai kejujuran seseorang. Lalu bagaimana dengan permusuhan dengan orang kafir.” Pada akhir ayat Allah menegaskan bahwa rasa benci yang disembunyikan oleh orang-orang kafir itu jauh lebih besar lagi dibandingkan yang dinampakkan dengan mulut.
Read More...

Pembagian Kaum Kafir

Kaum kuffar terbagi ke dalam beberapa golongan, setiap golongan memilki hukum tersendiri.

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Dahulu kaum musyrikin terbagi menjadi dua golongan di hadapan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Diantara mereka ada golongan yang dinamakan ahlul harb, nabi memerangi mereka dan mereka pun memerangi beliau. Ada golongan yang disebut ahlul ahd, nabi tidak memerangi mereka, dan mereka tidak memerangi beliau.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaum kuffar terbagi menjadi ahlul harb dan ahlul ahd. Dan ahlul ahd ini terbagi menjadi tiga golongan, ahlu dzimmah, ahlu hudnah, ahlu aman. Para ahli fiqih telah membuat pembahasan tersendiri untuk setiap golongan, ada bab Al Hudnah,bab Al Aman, bab ‘Aqdudz Dzimmah.

Lafadz “adz dzimmah” dan “al ‘ahd” pada asalnya mencakup tiga jenis orang kafir di atas. Demikian pulan lafadz “ash shulh”, sehingga lafadz “adz dzimah” sejenis dengan lafadz “al ‘ahd” dan “al ‘aqd”. Kemudian beliau berkata, “Demikian juga lafadz “ash shulh” merupakan lafadz yang umum dan mencakup seluruh perjanjian, baik yang diadakan oleh sesama kaum muslimin, maupun yang diadakan dengan kaum kuffar. Namun, yang kerap digunakan oleh para ahli fiqih, ahludz dzimmah merupakan istilah untuk orang kafir yang menunaikan jizyah, sehingga mereka mendapatkan perlindungan dari kaum muslimin sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mereka mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin untuk memberlakukan hukum Allah dan rasul-Nya terhadap diri mereka dikarenakan mereka menetap di negeri yang memberlakukan hukum Allah dan rasul-Nya.

Golongan tersebut berbeda dengan ahlul hudnah, golongan ini mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, baik perjanjian itu megandung kompensasi materi ataupun tidak, sementara mereka berada di negeri mereka masing-masing. Hukum islam tidak diberlakukan pada mereka sebagaimana ahludz dzimmah, namun mereka berkewajiban untuk tidak memerangi kaum muslimin. Golongan inilah yang dinamakan ahlul ‘ahd, ahlush shulh atau ahlul hudnah.

Adapun al mustakman adalah golongan yang mendatangi negeri kaum muslimin namun tidak menetap disana. Golongan ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu

* Para utusan
* Para pedagang
* Orang-orang yang meminta perlindungan kepada kaum muslimin sehingga punya kesempatan untuk mempelajari Islam dan al qur-an kepada mereka. Jika mereka ingin, mereka dapat masuk islam, jika tidak mereka pun dikembalikan ke negara mereka masing-masing.
* Orang-orang yang berkepentingan di negeri kaum muslimin, seperti orang kafir yang berkunjung (baca:turis, ed) dan semisalnya.

Golongan ini tidak diperangi dan dibunuh serta tidak diberlakukan jizyah terhadap mereka. Orang yang meminta perlindungan dari golongan ini ditawari untuk masuk islam, apabila dia menerimanya itulah yang diinginkan, namun jika dia hendak kembali ke negeri asalnya, maka dirinya pun diantarkan menuju ke sana dan islam tidak ditawarkan kembali kepadanya sebelum sampai di negerinya. Apabila dirinya telah sampai di negeri asalnya, maka statusnya kembali menjadi ahlul harb yang boleh diperangi.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/873).

Ketentuan dalam Perjanjian Hudnah

Syari’at tidak membolehkan untuk mengadakan perjanjian hudnah yang bersifat kekal antara kaum muslimin dengan kuffar. Hal ini sebagaimana kesepakatan (ijma’) yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/876). Hal tersebut tidak diperbolehkan karena akan menihilkan pensyari’atan jihad.

Adapun bentuk perjanjian hudnah dengan pembatasan tempo, maka hal ini dibolehkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya bersama kaum kafir Quraisy sebagaimana perjanjian Hudaibiyah yang beliau adakan selama 10 tahun.

Sedangkan bentuk perjanjian hudnah yang bersifat mutlak, diperbolehkan berdasarkan pendapat yang terkuat dari dua pendapat ulama. Yang dimaksud dengan perjanjian mutlak adalah kaum muslimin mengadakan perjanjian dengan kaum kuffar tanpa ada pembatasan jangka waktu berlakunya perjanjian. Kaum muslimin berniat apabila keadaan mereka kuat, maka mereka akan membatalkan perjanjian setelah adanya pemberitahuan kepada pihak kafir.

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Boleh mengadakan perjanjian hudnah baik bersifat mutlak maupun dengan adanya penentuan waktu perjanjian. Perjanjian yang disertai penentuan waktu bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, wajib untuk untuk dipenuhi selama pihak musuh tidak membatalkannya serta tidak boleh dibatalkan semata-mata didorong adanya rasa khawatir akan dikhianati oleh pihak musuh, hal ini berdasarkan pendapat yang terkuat dari dua pendapat ulama. Adapun perjanjian yang bersifat mutlak, maka hal itu tergolong akad yang jaiz (boleh dibatalkan oleh kedua belah pihak-pent), imam boleh melakukannya jika terdapat maslahah.” (Al Ikhtiyaraat Al Fiqhiyyah hal. 542).

Beliau mengatakan pula, “Sesungguhnya kaum musyrikin terbagi menjadi dua golongan. Yang pertama golongan yang memiliki perjanjian mutlak (yang diadakan dengan kaum muslimin-pent) tanpa adanya penentuan batas waktu berakhirnya perjanjian. Perjanjian ini tergolong akad yang jaiz, bukan akad lazim. Golongan kedua adalah mereka yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin dengan disertai penentuan batas waktu perjanjian. Maka Allah memerintahkan rasul-Nya untuk membatalkan perjanjian mutlak yang beliau adakan dengan kaum musyrikin, karena perjanjian jenis tersebut tergolong akad yang jaiz, bukan akad lazim dan Dia memerintahkan beliau untuk mengumumkan pembatalan tersebut kepada mereka denga jangka waktu empat bulan. Adapun golongan yang mengadakan perjanjian disertai penentuan batas waktu perjanjian, maka hal ini tergolong akad perjanjian yang bersifat lazim dan Allah memerintahkan beliau untuk memenuhi perjanjian tersebut.

Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa perjanjian hudnah harus dilaksanakan dengan disertai penentuan batas waktu perjanjian. Sedangkan sebagian lain berpendapat imam diperbolehkan untuk membatalkan perjanjian hudnah meski mereka tidak melanggar kewajiban.

Yang tepat dalam hal ini adalah pendapat ketiga, yaitu diperbolehkan mengadakan perjanjian hudnah baik secara mutlak atau disertai dengan penentuan batas waktu. Perjanjian hudnah yang bersifat mutlak tergolong akad yang jaiz, bukan lazim, dan kedua pihak dapat memilih tetap meneruskan perjanjian atau membatalkannya. Sedangkan perjanjian hudnah yang disertai penentuan batas waktu, maka jenis ini tergolong akad lazim.” (Al Jawabus Shahih 1/175). Kemudian beliau membawakan permulaan surat Bara-ah hingga ayat 13.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Apabila hal ini telah diketahui, kemudian yang menjadi pertanyaan apakah boleh bagi penguasa untuk mengadakan perjanjian hudnah dengan kaum kuffar secara mutlak tanpa menentukan batas waktu perjanjian, dengan sekedar ucapan “Kami mengadakan perjanjian dengan kalian sekehendak yang kami inginkan.” Pihak yang hendak membatalkan perjanjian boleh membatalkan perjanjian tersebut dengan syarat memberitahukan niat pembatalannya kepada pihak lain dan tidak melakukan pengkhianatan, atau dengan sekedar ucapan, “Kami mengadakan perjanjian dengan kalian dan membuat ketentuan terhadap kalian sekehendak yang kami inginkan.”

Dalam permasalahan ini pendapat para ulama- dalam madzhab imam Ahmad maupun selain beliau-, terbagi menjadi dua:

Pertama:

Hal tersebut tidak diperbolehkan. Hal ini merupakan pendapat Asy Syafi’I dalam salah satu kesempatan dan disetujui oleh sebagian ulama madzhab Hambali seperti Al Qadli (Abu Ya’la, ed) dalam Al Mujarrad dan Asy Syaikh (Ibnu Qudamah, ed) dalam Al Mughni dan para mereka tidak menyebutkan pendapat lainnya.

Kedua:

Hal tersebut diperbolehkan. Inilah pendapat yang ditegaskan oleh Asy Syafi’I dalam Al Mukhtashar dan dua pendapat ini disebutkan oleh beberapa ulama sebagai dua pendapat yang ada dalam mazhab Hambali. Diantara yang menyebutkan demikian adalah Ibnu Hamdan.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau berpendapat bahwa hal tersebut tergolong akad yang jaiz, sehingga diperbolehkan bagi imam untuk membatalkan perjanjian tersebut kapan pun dia menginginkannya. Pendapat ini berseberangan dengan pendapat pertama dari Asy Syafi’i.

Ketiga:

Pendapat yang mengambil jalan tengah diantara kedua pendapat yang telah lalu.

Asy Syafi’i mengomentari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Khaibar,

“Kami biarkan kalian selama Allah membiarkan kalian.” Beliau mengatakan bahwa maksudnya adalah kami akan membiarkan kalian selama Allah mengizinkan kami untuk membiarkan kalian berdasarkan hukum syar’i.

Syafii mengatakan, ketentuan dalam hadits ini hanya bisa diketahui berdasarkan wahyu. Sehingga ini khusus untuk Nabi dan tidak berlaku untuk selain Nabi.

Mereka yang berpendapat dengan perkataan Asy Syafi’i ini (pendapat pertama-pent) seakan-akan memandang apabila perjanjian hudnah diadakan secara mutlak, maka akan menjadikannya sebagai akad yang lazim dan berlaku selamanya sebagaimana akad dzimmah. Oleh karenanya, hal ini tidak diperbolehkan mengingat adanya ijma’ yang melarang mengadakan perjanjian damai selama-lamanya. Dan dikarenakan perjanjian hudnah berubah menjadi akad lazim, maka tentu harus dipenuhi, dan Allah ‘azza wa jalla memerintahkan untuk memenuhinya dan melarang untuk melakukan khianat, dan menunaikan perjanjian tidaklah diperintahkan melainkan jika akad perjanjian merupakan akad yang lazim.

Pendapat kedua -dan inilah pendapat yang benar-, menyatakan diperkenankan bagi imam untuk mengadakan perjanjian hudnah baik bersifat mutlak maupun disertai penentuan batas waktu perjanjian. Apabila perjanjian disertai penentuan batas waktu, maka boleh dijadikan sebagai akad lazim. Sebagaimana dibolehkan jika dijadikan sebagai akad jaiz, dimana kedua pihak boleh membatalkannya kapanpun seperti akad syirkah, wikalah, mudlarabah dan sejenisnya, dengan syarat pembatalan tersebut dengan cara yang jujur (kedua belah pihak sama-sama tahu).

Selain itu boleh mengadakan perjanjian hudnah secara mutlak. Apabila bentuknya mutlak, maka bukan berarti akad tersebut berlaku selamanya. Bahkan perjanjian dapat dibatalkan kapan saja diinginkan. Hal itu disebabkan hukum asal dalam berbagai perjanjian adalah seluruh perjanjian diadakan berdasarkan maslahat yang ada, dan terkadang maslahat ditemui ketika meneruskan perjanjian atau membatalkannya.

Bagi pihak yang mengadakan perjanjian boleh baginya mengadakan perjanjian dengan akad lazim dari kedua pihak, dan boleh baginya mengadakan perjanjian dengan akad jaiz, yang memungkinkan untuk dibatalkan apabila tidak terdapat faktor yang menghalangi hal tersebut. Dalam perjanjian seperti ini (dengan akad jaiz-pent) tidak terdapat faktor penghalang tersebut, bahkan terkadang terdapat maslahah di dalamnya. Maka, apabila penguasa membuat perjanjian dengan waktu yang cukup lama terkadang terdapat maslahat bagi kaum muslimin dalam mempersiapkan diri untuk berperang sebelum batas waktu perjanjian berakhir. Bagaimanakah kiranya apabila hal itu telah ditunjukkan oleh Al Qur-an dan As Sunnah?

Sebagian besar perjanjian yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adakan bersama kaum musyrikin bersifat mutlak tanpa adanya penentuan batas waktu perjanjian, berupa akad jaiz bukan akad lazim. Diantaranya adalah perjanjian yang beliau adakan dengan penduduk Khaibar, di saat Khaibar ditaklukkan dan dikuasai kaum muslimin dan yang mendiami wilayah tersebut adalah kaum Yahudi yang tidak terdapat seorang muslim pun diantara mereka. Dan pada saat itu ayat jizyah belum diturunkan karena ayat tersebut tercantum dalam surat Bara-ah dan turun pada saat perang Tabuk tahun 9 H, sedangkan Khaibar ditaklukkan sebelum Mekkah setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah tepatnya pada tahun 7 H. Maka kaum Yahudi berada di bawah kekuasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan seluruh harta (seperti tanah, rumah dan lahan pertanian-pent) menjadi milik kaum muslimin.

Terdapat riwayat dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,

“Kami biarkan kalian sekehendak yang kami inginkan”, atau dengan lafadz lain, “selama Allah membiarkan kalian.”

Sabda beliau, “selama Allah membiarkan kalian.” ditafsirkan oleh lafadz yang lain. Dan yang dimaksudkan adalah kapanpun kami menginginkan, kami akan mengusir kalian dari wilayah Khaibar. Oleh karena itu menjelang kematiannya, beliau memerintahkan untuk mengusir kaum Yahudi dan Nasrani dari jazirah Arab dan hal tersbut dilakukan oleh ‘Umar radliallahu ‘anhu pada masa pemerinahannya.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/874).

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Dalam kisah ini terdapat dalil bolehnya mengadakan perjanjian hudnah secara mutlak. Bahkan kapanpun imam menginginkan (perjanjian dengan bentuk seperti itu boleh diadakan-pent). Dan tidak terdapat dalil yang menghapus ketentuan tersebut, sehingga pendapat yang benar adalah perjanjian hudnah secara mutlak boleh diadakan. Hal ini telah ditegaskan oleh Asy Syafi’i sebagaimana keterangan Al Muzanni dan para imam selain beliau juga menegaskan hal yang serupa. Namun tidak diperkenankan menyerbu dan memerangi mereka sebelum melakukan pemberitahuan agar mereka dan imam kaum muslimin sama-sama mengetahui bahwa perjanjian telah dibatalkan.” (Zaadul Ma’aad 3/146).

Perhatian:

Pihak yang mampu menentukan manfaat dan bahaya dalam permasalahan ini adalah para ulama. Allah ta’alaa berfirman,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (An Nisaa: 83).

Sedangkan pihak yang berhak menetapkan perjanjian dan hudnah adalah penguasa sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan jihad. Berbagai maslahah dan mafsadat dalam permasalahan ini tidak ditentukan oleh para mujahid sebagaimana yang didengungkan sebagian diantara mereka dikarenakan dua alasan:

* Tatkala terjadi perselisihan, sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk mengembalikan permasalahan kepada para mujahid, bahkan Dia memerintahkan kita untuk merujuk pada syari’at-Nya. Sedangkan pihak yang paling mengetahui syari’at-Nya adalah para ulama’, oleh karenanya Dia berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An Nahl: 43).

* Telah jelas kesalahan para mujahidin di berbagai kejadian kontemporer yang baru saja terjadi tatkala mereka menyelisihi para ulama rabbaniyyin yang memiliki pengetahuan mendalam dalam ilmu syar’i. akan tetapi adakah adakah orang yang mau mengambil pelajaran?! Allah ta’alaa berfirman,

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ

“Maka jadikanlah (kejadian itu) sebagai pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Al Hasyr: 2).

Hanya Allah yang tahu berapa banyak Islam dan kaum muslimin menjadi korban dikarenakan berbagai ijtihad yang mereka lakukan. Ribuan jiwa terbunuh, ratusan kehormatan telah dilanggar, banyak kota yang sudah berkembang menjadi rata dengan tanah, belum lagi yang terluka, berada dalam pengungsian, penjara dan hal ini merupakan realita yang tidak dapat dihitung.

Tidak ada yang senang akan ulah mereka melainkan dua golongan. Mereka yang bodoh dan hanya mengandalkan semangat, perasaanlah motor penggerak mereka, bukan akal mereka. Dan golongan yang lain adalah kaum kuffar yang senantiasa menanti berbagai kesempatan yang tepat untuk memperdaya islam dan kaum muslimin.
Read More...

Membangun Rumah di Surga dengan 12 Rakaat

Sebagai dien (aturan hidup) yang syamil, kamil dan mutakamil (lengkap, sempurna dan saling menyempurnakan) ajaran Islam meliputi segenap urusan hidup. Islam tidak saja mengatur urusan hidup di alam fana dunia tetapi juga meliputi kehidupan di alam baqa akhirat.


Banyak arahan dari Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam yang mendorong seorang Muslim untuk berinvestasi jangka panjang bagi kebahagiaan hidup di akhirat. Malah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan bahwa seorang Muslim yang peduli dengan kehidupannya di alam sesudah meninggalkan dunia fana ini, merupakan Muslim yang cerdas. Kecerdasan seseorang bukanlah bilamana ia peduli sukses dalam kehidupan dunia namun tidak pernah merencanakan keberhasilan untuk hidupnya di alam akhirat.

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

“Orang yang paling cerdas ialah orang yang banyak menghitung-hitung/evaluasi/introspeksi (‘amal-perbuatan) dirinya dan ber’amal untuk kehidupan setelah kematian. (At-Tirmidzi 8/499)

Bagi seorang Muslim keberhasilan di akhirat merupakan keberhasilan sejati. Sedangkan keberhasilan di dunia tidaklah dianggap sebagai keberhasilan kecuali jika keberhasilan tersebut mampu memperbesar peluang bagi dirinya untuk menjadi berhasil pula di akhirat. Inilah yang digambarkan Allah ta’aala melalui firmanNya sebagai berikut:

وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

”Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran ayat 185)

Saudaraku, salah satu arahan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang menarik untuk diperhatikan dan selanjutnya dilaksanakan ialah menegakkan sholat sunnah dua belas rakaat setiap hari. Tentu hal ini setelah menunaikan sholat lima waktu yang wajib dikerjakan setiap hari pula. Apa yang menarik dari arahan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ini?

Yang menarik ialah reward atau ganjaran yang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam janjikan bagi pelakunya. Coba simak hadits di bawah ini:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

Dari Aisyah radhiyallahu ’anha beliau berkata: Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Barangsiapa rutin menegakkan sholat sunnah dua belas rakaat, maka Allah ta’aala akan membuatkan rumah baginya di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat sesudah Zhuhur, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya dan dua rakaat sebelum Subuh.” (HR Tirmidzi 379)

Bayangkan, saudaraku…! Hanya dengan mengerjakan perbuatan yang tidak sulit ini seseorang dijamin Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bakal Allah ta’aala bangunkan rumah alias istana di surga. Subhanallah...!

Namun sudah barang tentu untuk memperoleh fasilitas istimewa ini seorang Muslim tidak diharapkan hanya mengerjakannya satu hari seumur hidupnya lalu sesudah itu ia tinggalkan dan tidak pernah mengerjakannya lagi sama sekali. Jangan lupa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyuruh seorang Muslim untuk membiasakan diri melakukan suatu amal kebaikan dengan konsistensi dan keteguhan. Allah ta’aala menyukai hambaNya yang walaupun mengerjakan perkara kecil namun ia mau mengerjakannya secara kontinyu, terus-menerus, tidak angin-anginan, tidak musiman.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اكْلَفُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ وَكَانَ إِذَا عَمِلَ عَمَلًا أَثْبَتَهُ

Dari Aisyah radhiyallahu ’anha beliau berkata: Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:“Lakukanlah amal sesuai kesanggupan. Karena sesungguhnya Allah ta’aala tidak akan bosan sehingga engkau menjadi bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling Allah ta’aala sukai ialah yang terus-menerus dikerjakan walaupun sedikit. Dan bila ia beramal ia beramal dengan teguh pendirian.” (HR Abu Dawud 1161)

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“(Ya Allah) Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah pendirianku di atas agamaMu.” (HR Tirmidzi 2066)

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kelemahan, kemalasan, sikap pengecut, kebakhilan, kepikunan, dan azab kubur. Ya Allah, berikanlah diriku ketakwaannya dan sucikanlah ia, karena Engkaulah yang sebaik-baik yang menyucikannya, Engkaulah Penolong dan Pemiliknya.” (HR Muslim 4899)
Read More...

Check This Out !!!


Band emailQuantcast
 
SELAMAT DATANG SAHABAT SEJATI, TEMUKAN BERBAGAI ILMU DISINI SAHABAT SEHATI | KLIK DI SINI JIKA BERMINAT MEMASANG HEADLINE NEWS SEPERTI INI | TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAHABAT ...